About Me

Foto saya
Quw aNaKnYa Cu3X, EgOiS, nY3B3Lin, nDaK SuKa n3Ko²... aLiM n ShOliKah So PaStI MuNgKiN Aja KaL3...Amiiin...!!!"

Airmata di Lebaran

Matahari baru saja terbit. Gema suara takbir yang bersahutan sejak tadi
sore semakin jelas terdengar dari corong-corong masjid. Orang-orang
dengan pakaian bagus bergegas memasuki sebuah mesjid besar di salah
satu jalan di Jakarta. Kebanyakan mereka memakai busana Muslim dengan
kepala ditutupi kopiah. Selembar sajadah terselempang di pundak mereka.

Sebagian wanita tampak sudah memakai mukena sejak berangkat dari rumah.
Sebagian lainnya berpakaian kebaya sambil menjinjing mukena dan sajadah.
Anak-anak tidak lupa dibawa serta.

Meskipun sebagian besar jamaah berjalan kaki, namun tidak sedikit
diantara mereka yang datang ke masjid itu berkendaraan, baik sepeda
motor maupun mobil.
Kebanyakan mobil-mobil yang datang dipenuhi oleh seluruh anggota
keluarga. Perasaan gembira tampak jelas pada wajah-wajah mereka yang
penuh senyum.
Maklumlah, hari ini adalah Hari Raya Idul Fitri, hari kemenangan umat
Islam, setelah satu bulan lamanya mereka menjalankan ibadah Ramadhan.

Suara takbir semakin menggema. Jamaah semakin padat memenuhi ruangan
masjid yang luas itu. Sebagian mulai tampak membanjiri teras masjid
karena bagian dalam masjid sudah penuh. Sebentar saja, teras pun penuh
terisi jamaah. Beberapa anak kecil memanfaatkan kesempatan itu untuk
menawarkan koran bekas kepada jamaah yang baru datang. Di Jakarta, apa
pun bisa dijual, tak peduli di hari raya seperti ini.

Bukan hanya anak-anak penjaja koran bekas saja yang sedikit “mengganggu
pemandangan”(tm) pagi itu. Beberapa pengemis pun tampak berjejer di
depan gerbang masjid menyambut para jamaah dengan menyodorkan baskom
plastik. Beberapa diantara mereka menggendong bayi yang masih mungil.

Seorang anak laki-laki dengan wajah kusut dan pakaian yang masih kotor
terlihat berdiri di depan gerbang. Sebut saja namanya Husein. Usianya
sekitar tujuh tahun. Ragu-ragu ia memasuki gerbang masjid.

Ia tahu kalau hari ini adalah Hari Raya Idul Fitri, sehingga ia ingin
masuk ke dalam masjid untuk ikut merayakannya dengan sholat Id. Akan
tetapi ia juga sadar kalau keadaan dirinya yang kusut dan tak terurus
itu bisa menjadi pusat perhatian jamaah lain yang berpakaian rapi.

Husein memang mematung di depan gerbang. Beberapa rombongan jamaah yang
hendak masuk ke masjid menyadarkan dirinya untuk segera menyingkir dan
memberi jalan kepada mereka. Anak itu segera menepi. Diurungkan niatnya
untuk masuk ke gerbang masjid.

Kini ia sandarkan tubuhnya di pagar besi yang mengelilingi masjid. Dari
pagar itu ia bisa melihat bagaimana ramainya suasana halaman masjid oleh
para jamaah dengan pakaian baru aneka warna. Anak-anak seusianya tampak
duduk bersila di samping orang tua mereka dengan baju baru, kain sarung
baru dan peci yang juga baru. Kontras sekali dengan dirinya yang lusuh
oleh debu dan pakaian yang kotor.

Terbayang dalam ingatannya ketika tahun-tahun lalu ia masih bisa
menikmati suasana lebaran yang penuh kebahagiaan bersama kedua orang
tuanya. Pagi-pagi, ia sudah dibangunkan oleh tangan lembut ibunya.
Terdengar suara takbir dari masjid dekat rumahnya. Kue-kue dan ketupat
tersaji di meja makan. Ia dan anak-anak seusianya tidak lupa ikut orang
tua mereka sholat di masjid atau tanah lapang.Tawa canda tampak dari
mereka setiap kali bertemu. Mereka seolah saling memperlihatkan baju
baru yang mereka pakai.

Tapi itu dua tahun lalu, ketika kedua orang tuanya masih berada di
sisinya. Sebab beberapa bulan selepas kenangan manis itu, kedua orang
tuanya harus bercerai.
Sebagai seorang anak kecil, ia tidak mengerti mengapa kedua orang tuanya
harus bercerai, sehingga ia harus menjadi korban dari sikap egoisme
kedua orang tuanya.

Beberapa bulan kemudian , ia masih bisa merasakan kasih sayang ibunya ,
meski tidak tahu lagi kemana ayahnya pergi. Tetapi lewat tiga bulan dari
perceraian kedua orang tuanya, ibunya terpaksa kawin lagi dengan lelaki
lain. Parahnya, lelaki itu juga membawa ibunya pergi ke Jakarta. Konon,
ayah tirinya itu punya pekerjaan di Jakarta meskipun hanya sebagai
pekerja kasar.

Husein sendiri dititipkan kepada neneknya dari pihak ibu. Maklumlah
sejak menikah, ayah dan ibunya memang menumpang di rumah neneknya itu.
Karena itu, Husein sudah dekat dengan sang nenek meskipun tetap saja ia
merasakan kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya. Kalau saja ia
besar, ia ingin sekali meninggalkan neneknya dan pergi ke Jakarta untuk
menyusul kedua orang tuanya.

Sebenarnya, neneknya sendiri tidak memiliki penghasilan yang memadai. Di
usianya yang sudah uzur, ia terpaksa menghidupi dirinya dan cucunya
dengan kerja serabutan. Kadang ia masih ikut menjadi kuli di sawah atau
kerja apa saja yang bisa mendatangkan sesuap nasi bagi dirinya bersama
cucunya. Husein sendiri kerap kali membantu neneknya. Ibunya yang konon
ikut suaminya ke Jakarta tidak kunjung kabar beritanya. Jangankan
mengirimkan uang untuk mereka, mengirimkan kabar saja tidak pernah.

Sampai akhirnya derita yang harus ditanggung Husein mencapai puncaknya
ketika minggu lalu sang nenek pun akhirnya pergi untuk selama-lamanya.
Neneknya meninggal dunia setelah dua hari menderita sakit. Para tetangga
berusaha mencari alamat ibunya untuk mengabari perihal kematian neneknya
itu. Tetapi tak satu pun yang tahu dimana alamat ibu Husein berada.
Akhirnya jenazah sang nenek terpaksa dimakamkan tanpa kehadiran anak
perempuan satu-satunya itu.

Selepas neneknya meninggal, beberapa saudara jauh dari neneknya mencoba
merayu Husein agar mau tinggal di rumah mereka. Akan tetapi Husein
tampaknya tidak bisa
menerima kebaikan hati mereka. Mungkin ia merasa kurang mengenal mereka.
Maklumlah mereka memang saudara jauh yang jarang datang ke rumah
neneknya.

Akhirnya, satu hari setelah kematian neneknya, Husein nekad pergi
meninggalkan kampung halamannya. Dengan bekal seadanya, ia pergi ke
Jakarta untuk mencari ibunya. Ia sendiri tidak pernah membayangkan
seperti apa sesungguhnya kota Jakarta. Ia memang pernah melihatnya,
tetapi hanya lewat sinetron di televisi.

Husein pergi ke Jakarta dengan menumpang beberapa kendaraan. Dari
kampungnya di sebuah desa di Jawa Barat, ia menumpang mobil bak terbuka
yang kembali ke kota Kabupaten setelah mengantarkan barang-barang
dagangan seorang pemilik toko.

Beruntung sang sopir mau mengantarkannya sampai ke terminal. Dari
terminal ia menumpang bus jurusan Jakarta dengan gratis karena kebaikan
sang kondektur yang kasihan melihat Husein. Apalagi, seminggu menjelang
Idul Fitri seperti ini, bus yang ditumpanginya justru kosong jika menuju
Jakarta.

Sampai di Kampung Rambutan, Husein langsung bertanya ke sana kemari
menanyakan orang-orang yang ditemuinya.
Ia mengira mencari orang di Jakarta sama mudahnya seperti mencari orang
di kampungnya. Ternyata, semua orang yang ditanyainya malah memarahi
kebodohannya yang mencari orang tuanya tanpa kejelasan alamat sedikit
pun.

Husein tidak mau menyerah. Ia merasa sudah terlanjur sampai di Jakarta.
Pantang baginya kembali ke kampung halamannya. Apalagi ia merasa sudah
tidak ada lagi saudaranya di kampung halamannya. Untuk apa kembali lagi?
Sementara di ibukota ini, ia masih memiliki peluang untuk menemukan
ibunya, meskipun ia tidak tahu sampai kapan cita-citanya itu bisa
terwujud.

Untuk mengganjal perutnya, ia berusaha mengamen dari satu bus ke bus
lainnya tanpa menggunakan alat musik apa pun. Ia mengamen hanya
bermodalkan suara dan tepuk tangannya saja. Jika malam menjelang, ia
mencari tempat tidur di pinggir-pinggir toko atau terminal. Beruntung ia
belum pernah dijahili oleh para preman.
Dan pada hari kelima kedatangannya di Jakarta, Idul Fitri pun tiba.

Suara orang ramai keluar dari masjid menyadarkan lamunan Husein.
Anak-anak seusianya berlarian dengan baju baru. Sebagian lainnya
bergandengan tangan dengan ibu bapaknya. Tiba-tiba Husein kembali
teringat ibu bapaknya. Wajah neneknya juga berkelebat di benaknya. Tanpa
disadari, setetes air hangat terbit di sudut kelopak matanya. Ia
benar-benar merindukan orang-orang yang dicintainya itu.

Ternyata, tanpa ia sadari, sepasang suami isteri yang mobilnya harus
antri keluar dari gerbang masjid, memperhatikan tingkah lakunya. Mereka
trenyuh menyaksikan seorang anak yang berwajah polos dengan penampilan
kusut tampak melamun menerawang denga air mata yang tak mampu ditahan.
Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana jika nasib serupa menimpa
anak-anak mereka, meskipun sampai saat ini mereka belum juga dikaruniai
seorang anak.

Suasana gerbang masjid yang semrawut membuat mobil pasangan yang sudah
tujuh tahun belum dikaruniai anak ini tidak bisa bergerak. Entah apa
yang menggerakkan hati wanita itu, ketika tiba-tiba ia membuka pintu
mobil. Sejenak ia menatap wajah suaminya. Mata sang suami tampak memberi
isyarat kalau ia menyetujui tindakan isterinya.

Sang isteri bergegas menghampiri Husein yang hendak bersiap pergi
meninggalkan tempat itu. Sedikit gugup dan agak kesulitan untuk memulai
menyapa Husein, perempuan yang sudah lama merindukan hadirnya seorang
anak dalam rumah tangganya itu, akhirnya memberanikan diri menuruti
naluri rasa sayangnya menyapa Husein.

“Ibumu dimana?” tanya perempuan itu. Husein terkejut bukan kepalang. Ia
tidak mengira kalau perempuan itu ternyata menyapanya. Padahal, ia belum
sempat menyeka
air matanya.

Husein tidak mampu menjawab pertanyaan lembut itu. Ia seolah menemukan
kelembutan seorang ibu yang begitu lama dirindukannya. Ia hanya mampu
menggeleng karena air matanya semakin deras mengucur di pipi.

“Dimana ibumu?” tanya wanita itu lagi.

Husein berusaha keras melawan perasaannya, tetapi ia tidak mampu.
Berkali-kali ia mencoba mengusap air matanya, tetapi air bening itu
seolah tumpah begitu saja, tak mampu dibendungnya.

Perempuan itu tampaknya semakin penasaran sekaligus merasa kasihan
kepada Husein. Ia segera membungkuk, lalu duduk berjongkok agar bisa
lebih dekat lagi dengan anak malang itu. Diberanikan dirinya untuk
menyentuh kepala Husein. Lalu ia mengusapnya perlahan-lahan.

“Siapa namamu?” tanya wanita itu sambil menatap wajah Husein. Wanita itu
melihat kepolosan di mata anak itu, juga duka yang begitu dalam.
Tampaknya ia bisa membaca kepedihan dan duka Husein.

Mendapat perlakuan penuh kasih seperti itu, Husein semakin haru. Ia
tidak habis pikir. Betapa tidak, hampir satu minggu ia menjelajah
ibukota mencari ibunya, tetapi tak ada satu orang pun yang bersikap baik
padanya, apalagi menunjukkan perhatian yang begitu besar seperti wanita
ini.

Sambil mengusap air matanya, ia mencoba memandang wanita itu. Wanita itu
masih memandangnya dengan tatapan penuh kasih seorang ibu. Aneh,
tiba-tiba perasaan haru yang besar merayap di hati Husein. Ia seolah
merasakan kembali tatapan dan kasih sayang ibunya yang sudah lama tidak
dirasakannya. Tanpa sadar, ia memeluk wanita itu, seolah memeluk ibunya
sendiri yang begitu lama tidak pernah mendekapnya. Air mata pun semakin
deras mengalir dari pipinya membasahi busana Muslimah wanita itu.

Wanita itu segera menyambutnya. Ia mengelus punggung anak malang itu.
Tanpa terasa, air matanya ikut menitik dan jatuh di pipinya. Ia bisa
merasakan kesedihan dan kerinduan seorang anak yang mendambakan
kehangatan orang tuanya. Perlahan ia lepaskan pelukannya dan dipegangnya
pundak Husein dengan lembut.

“Kamu tinggal dimana?” tanya wanita itu penuh harap.
Matanya benar-benar menyelidik, berharap Husein segera menjawabnya.

, saya tidak punya rumah di sini. Saya mencari ibu. Katanya ibu ke
Jakarta,”jawab Husein.
“Dimana tinggalnya?” tanya wanita itu lagi.

Husein menggeleng, tetapi kemudia ia berucap, “Sudah hampir setahun ibu
pergi. Saya tidak tahu kemana. Kata nenek, ibu dibawa bapak tiri saya ke
Jakarta. Jadi saya pergi ke Jakarta. “Dimana nenekmu?” tanya wanita itu.

“Nenek meninggal satu minggu yang lalu di kampung. Saya, saya tinggal
sendiri. Bapak sudah lama pergi. Bapak kawin lagi. Saya tidak tahu
dimana,” cerita Husein.

Mendengar pengakuan polos Husein, wanita itu semakin terharu. Naluri
keibuannya yang lembut membuatnya tak mampu menahan tetesan air bening
yang perlahan merambat di pipinya. Suaminya yang sejak tadi menunggu di
mobil yang sudah menepi, akhirnya turun juga. Ia bisa melihat keharuan
di mata isterinya, didekatinya isterinya sambil berjongkok memandang
Husein.

“Maukah kamu menganggap saya ibumu?” tanya wanita itu.
Husein tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya mampu memandang sebentar
sepasang suami isteri yang menatapnya penuh haru dan kasih. Ia
membayangkan, betapa bahagianya jika dua orang di depannya itu adalah
ayah dan ibunya, dua orang yang begitu dirindukannya.

“Maukah engkau tinggal bersama kami? Anggaplah kami orang tuamu,” ujar
wanita itu dengan suara sedikit bergetar. Husein semakin terharu.
Perlahan ia tegakkan
kepalanya yang sejak tadi lebih banyak tertunduk. Mata polosnya menatap
sepasang suami isteri di depannya dengan penuh tanya.

“Ikutlah dengan kami,” tiba-tiba suami perempuan itu ikut bicara. Ia
memegang bahu Husein. Lagi-lagi Husein tidak mampu menahan harunya. Ia
rebahkan wajahnya di
bahu lelaki itu. Air matanya belum juga reda. Isteri lelaki itu kembali
mengusap kepala Husein.
Jangan takut, Nak. Meskipun orang tuamu belum engkau temukan, kami
bersedia menjadi pengganti mereka. Jadilah anak angkat kami,” bujuk
isterinya lagi.

Suami wanita itu mengangkat kepala Husein dan kembali memandangnya
dengan penuh rasa sayang. Sorot matanya menunjukkan betapa ia
benar-benar ingin mengajak Husein menjadi bagian dari keluarganya.

“Ikutlah dengan kami. Jadilah anak angkat kami,” ucap lelaki itu sambil
memegang tangan kanan Husein. Isterinya pun segera berdiri dan memegang
tangan kiri Husein.
Tanpa bisa menolak lagi, Husein pun mengikuti kedua pasangan suami
isteri itu menuju mobil mereka. Begitu mobil dibuka, Husein berhenti
sebentar. Ia ragu-ragu.
“Tak apa. Masuklah! Anggaplah kami orang tuamu!” ujar si suami. Setelah
Husein masuk, mobil pun segera pergi diikuti tatapan jamaah lain yang
tampak keheranan.

Sejak saat itu, Husein tinggal di rumah pasangan suami isteri tadi. Ia
dianggap anak oleh mereka. Tapi, Husein tetap tidak menyerah. Ia terus
berusaha menemukan kedua orang tuanya meskipun sampai hari ini, setelah
satu tahun kedatangannya di ibukota, usahanya tetap sia-sia.

Husein hanyalah salah satu contoh dari anak-anak yatim yang masih
beruntung karena masih ada orang yang mau mengasihinya. Masih banyak
anak-anak kita yang berkeliaran di jalan-jalan tanpa seorang pun yang
peduli apalagi melindungi dan mengasihi mereka. Semoga di hari yang
fitri nanti kita bisa berbagi kebahagiaan kepada mereka yang kurang
beruntung, terutama anak-anak yatim di sekitar kita.

~ Amiin ~



0 komentar:


KampungBlog.com - Kumpulan Blog-Blog Indonesia
CahayaDalamHati.Blogspot.com 2008